Minggu, 13 Mei 2012

Merajut Cinta di Atas Sajadah


Tulisan ini saya dedikasikan kepada perasaan gelisah yang telah merasuki jiwa, kegelisahan dalam menyambut bidadari yang dikirim Allah telah mengayunkan jemari ini mengapresiasikannya dalam diary cinta.

Sepekan pasca prosesi khitbah berlalu normal tanpa kesibukan ataupun gejolak jiwa yang berlebihan. Rutinitas ia jalani sebagaimana kehidupannya selama ini, sungguh tiada perubahan yang mencolok pada diri Zain Amrullah meski statusnya bertunangan. Dan inilah bentuk tawakal seorang hamba ketika telah mengetahui anugerah Allah untuknya yang berupa seorang bidadari.
Pekan berikutnya, kordinasi persiapan pernikahan mulai nampak meski tergolong sederhana. Kelengkapan administrasi menjadi topik dan agenda yang Zain Amrullah jalani selama sepekan itu. Perjalanan jauh nan melelahkan ia tempuh untuk  sampai di kota kecilnya, kota yang telah berperan mencerahkan keimanannya, kota tempatnya meraih doa restu Ayah-Bunda dan kerabat demi membangun mahligai rumah tangga.
Puncaknya, sepekan menjelang hari dimana yang telah ditentukan sebagai waktu yang tepat menjalankan prosesi Qobiltu Nikah. Seorang Zain masih tampak relax dan enjoy menikmati pekerjaannya sebagai seorang pendidik dan pendakwah. Seakan-akan tiada yang menjadi beban berat dalam menyambut hari pernikahannya. Datanglah seorang ustad yang begitu peduli dan memperhatikannya, beliau bertanya : “Apakah keluarga antum sudah menyiapkan mahar ataupun biaya untuk mensukseskan prosesi pernikahan antum?”
Dengan penuh keyakinan dan percaya diri Zain pun menjawab, “Alhamdulillah tadz, misi hidup saya salah satunya adalah tidak membebani orang lain termasuk keluarga, dan karena Allah Maha Kaya maka saya telah meminta kepada-Nya apapun yang menjadi kebutuhan dalam hidup saya. Berapapun yang akan saya siapkan saat ini insya Allah ada ustad, dan itulah komitmen saya sebagai umat Muhammad SAW yang sangat menjunjung harkat wanita.”
“Subhanallah ya akhy… Jika seperti itu komitmen antum, selembar sajadah pun cukup untuk membungkus dunia ini, sajadah yang menjadi landasan cinta dalam membangun keluarga beriman. Karena ketika manusia bercinta beralaskan sajadah iman, niscaya keridhoan Allah yang akan menyertainya menuju keselamatan hidup di dunia dan di akhirat.” Pungkas sang Ustad menutup dialog tersebut.
Dan atas takdir-Nya pada Ahad, 13 Mei 2012 di sebuah kampung yang jauh dari hiruk-pikuk keramaian dunia telah berlangsung prosesi akad nikahnya. Keberhasilan yang luar biasa karena Zain Amrullah mampu terbebas dari budaya pacaran yang biasa dilakukan banyak pasangan sebelum menikah. Fenomena pacaran yang ternyata dipenuhi aroma dusta karena masing-masing pelaku hanya menyampaikan kehebatannya saja, dan sedapat mungkin menyembunyikan kekurangan dan kemunafikannya.
Sudah teramat banyak pasangan yang terjerumus dalam gelora asmara tanpa bingkai cinta meski dibibirnya berucap cinta dan cinta. Cinta yang terucap bagaikan penjual kacang ketika menawarkan dagangannya. Jika demikian maka nafsu asmara tiada lagi mampu terkontrol, dan asmara yang tidak dikendalikan itu layaknya kuda liar yang berlari kesana kemari. Hasilnya, banyak wanita hamil tanpa status, aborsi di mana-mana, pemerkosaan dan pelecehan harkat wanita, dan yang mengerikan ketika sex bebas merajalela. 
Inilah ibrah yang dapat kita ambil ketika asmara dilandasi cinta karena Allah, maka kemuliaan kaum wanita senantiasa terjaga. Kehidupan keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah tidak sebatas slogan yang hanya ada di acara resepsi pernikahan. Semoga Allah senantiasa menjaga keutuhan bangunan cinta diatas sajadah iman hingga ke akhir zaman. Amiin ya Robb…
Merajut Cinta di Atas Sajadah
Merajut Cinta di Atas Sajadah








Load disqus comments

2 komentar